Info Terkini dari Ranah Publik, Jakarta – Raners! Siapa sangka, surga dunia bernama Raja Ampat, yang selama ini dielu-elukan sebagai kawasan konservasi kelas dunia, ternyata diam-diam telah dipetakan sebagai wilayah tambang dalam regulasi daerah.
Iya, Raners. Dalam Perda RTRW Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011, terdapat sejumlah pulau kecil yang justru ditetapkan sebagai kawasan pertambangan. Padahal, ini bertolak belakang dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ketika Legislasi Lokal Bertabrakan dengan UU Nasional
Hal ini yang kemudian disorot Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam. Baginya, ini bukan semata isu ekologi atau pertambangan, tapi soal integritas peraturan dan keberanian menempatkan kepentingan rakyat di atas keuntungan sesaat.
“Bahkan bisa-bisanya Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) justru menetapkan beberapa pulau kecil sebagai kawasan pertambangan, di mana ini sangat bertentangan dengan UU,” jelas Mufti.
Tentu saja, pernyataan ini membuka fakta baru: ketidaksinkronan antara regulasi pusat dan daerah masih menjadi akar dari banyak konflik sumber daya alam di Indonesia. Apakah ini kelalaian? Atau justru celah legal yang sengaja dibuka?
Bukan Sekadar Tambang, Ini Soal Wibawa Negara
Lebih dari itu, kata Mufti, aktivitas tambang bukan cuma soal menggali tanah. Ini menyangkut martabat dan arah masa depan bangsa.
“Yang digali bukan cuma tambang, tapi harga diri kita sebagai bangsa. Raja Ampat bukan untuk ditambang tapi untuk dijaga,” tegasnya.
Raners, ini jadi pengingat. Bahwa mengelola sumber daya bukan sekadar hitung-hitungan tonase dan royalti. Ada nilai tak terhitung yang sedang dipertaruhkan, terutama jika kawasan konservasi bisa ditukar hanya karena satu tanda tangan izin tambang.
Siapa Bertanggung Jawab atas Tata Ruang yang ‘Melenceng’?
Pertanyaan selanjutnya, Raners: siapa yang menggambar peta tambang di Raja Ampat itu? Dan mengapa bisa lolos pengawasan begitu saja? Ini bukan persoalan masa lalu, ini warisan logika pembangunan yang harus ditinjau ulang.
Mufti menyoroti inkonsistensi kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang seolah “main dua kaki”: satu sisi mengampanyekan konservasi, sisi lain membuka ruang eksploitasi.
“Jangan sampai pemerintah menjadi makelar tambang,” katanya lantang.
Surga yang Terancam Jadi Komoditas
Mufti Anam juga mengingatkan bahwa Raja Ampat bukan wilayah sembarangan. Ini rumah bagi ribuan spesies laut langka dan tanah adat yang menjadi penyangga identitas masyarakat Papua. Aktivitas tambang, menurutnya, bisa menghancurkan bentang alam, laut, dan komunitas adat sekaligus.
“Sudah cukup hutan habis, laut rusak, masyarakat adat digusur. Kita tidak boleh menggadaikan alam yang akan menjadi modal kehidupan masa depan,” ujarnya.
Raners! Ini bukan hanya soal tambang atau ekologi, tapi tentang konsistensi dan keberanian negara menjaga komitmen hukum serta masa depan rakyatnya. Bila Raja Ampat bisa masuk peta tambang lewat regulasi resmi, maka siapa pun daerah lain pun bisa mengalami hal yang sama.
Kita semua berhak bertanya: apakah aturan dibuat untuk dijalankan, atau hanya untuk dijadikan formalitas demi kepentingan jangka pendek?
Pantau terus polemik ini hanya di Ranah Publik, Ranah Nyaman untuk Berita dan Informasi.
DSK | Foto: HO-Humas DPR RI/Dok.Andri