Info Terkini dari Ranah Publik, Jakarta – Raners! Meski data Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia untuk Mei 2025 masih berada di zona kontraksi, ternyata semangat dunia usaha nggak ikut melemah. Justru, ada kabar positif: ribuan lapangan kerja baru tetap terbuka di sektor industri.
Menurut juru bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif, hasil survei S&P Global yang menunjukkan PMI di angka 47,4 memang mencerminkan penurunan pesanan baru, terutama dari pasar ekspor ke Amerika Serikat. Namun, hal ini nggak menghalangi geliat industri dalam membuka peluang kerja.
“Meski mengalami tekanan dinamika global, sektor manufaktur tetap menunjukkan optimisme perluasan tenaga kerja,” ujarnya di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Serapan Tenaga Kerja Tembus 97 Ribu
Raners, angka ini bukan euforia semata. Sebanyak 359 perusahaan industri yang sedang membangun fasilitas produksi pada triwulan I/2025 telah menyerap 97.898 tenaga kerja baru.
Ini bahkan jauh lebih besar dibanding angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang beredar di publik.
“Perusahaan yang membangun fasilitas produksi ini merupakan bukti adanya optimisme tinggi dari sisi serapan tenaga kerja di Indonesia,” tegas Febri.
Tantangan Global dan Langkah Pemerintah
Di sisi lain, dunia industri juga menghadapi kendala: kesulitan logistik ekspor, cuaca buruk, dan harga bahan baku yang terus naik. Hal ini membuat daya saing industri nasional cukup tertekan.
“Ini yang membuat industri kita tidak berdaya saing dengan kompetitor, karena harga jual dari kompetitor juga tidak naik. Terjadilah efisiensi,” kata Febri.
Tapi pemerintah nggak tinggal diam. Program reskilling, pelatihan wirausaha baru, hingga relokasi tenaga kerja sedang berjalan untuk membantu pekerja yang terdampak.
Lebih lanjut, pemerintah mengeluarkan insentif PPH 21 sebesar 3% bagi pekerja industri padat karya agar bisa menjaga kestabilan produksi.
Belanja Pemerintah Pro Produk Lokal
Kebijakan pro industri juga diperkuat lewat Perpres No. 46 Tahun 2025. Di situ ditegaskan bahwa belanja pemerintah harus memprioritaskan produk manufaktur dalam negeri, sementara produk jadi impor justru berada di urutan prioritas kelima.
“Ini afirmatif dan progresif. Pemerintah mewajibkan belanja barang dan jasa untuk beli produk dalam negeri,” ujar Febri.
Kemenperin juga tengah menyederhanakan proses perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar lebih cepat, murah, dan mudah. Tujuannya? Supaya makin banyak produk lokal yang punya sertifikat TKDN dan dibeli pemerintah.
Fakta menarik lainnya, hingga saat ini ada 14.030 perusahaan yang sudah memproduksi barang dengan TKDN dan produknya dibeli melalui anggaran negara dan BUMN. Serapan tenaga kerjanya? Sekitar 1,7 juta orang.
“Dengan Perpres ini, demand produk industri dalam negeri meningkat. Ini menghindarkan kita dari penurunan utilisasi, penutupan industri, dan PHK massal,” lanjutnya.
Menjaga Nilai Pancasila di Jantung Industri
Dalam rangka Hari Lahir Pancasila, Febri mengajak semua pemangku kepentingan agar menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai visi bersama, terutama untuk menjadikan industri sebagai tulang punggung ekonomi nasional.
Langkah afirmatif seperti ini menunjukkan bahwa meski angkanya kontraksi, denyut kehidupan industri Indonesia justru bergerak progresif.
“Perusahaan yakin periode penurunan ini akan berlalu karena mereka menaikkan tingkat ketenagakerjaan,” ujar Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global, menanggapi laporan PMI Indonesia.
Raners! Dunia usaha boleh saja menghadapi tantangan, tapi sinyal kepercayaan tetap kuat. Pemerintah dan pelaku industri terlihat bahu membahu menjaga agar sektor ini tetap hidup, berdaya, dan menyerap tenaga kerja.
Pantau terus arah kebijakan afirmatif ini, hanya di Ranah Publik, Ranah Nyaman untuk Berita dan Informasi.
RK | Foto: HO-Kemenperin