Info Terkini dari Ranah Publik, Jakarta – Raners! Meski jumlah pemilih perempuan di Indonesia mencapai lebih dari 50 persen, nyatanya, suara mereka belum sepenuhnya berpihak pada perempuan pemimpin. Itulah suara yang dilontarkan tegas oleh Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat hadir di Universitas Negeri Padang, Kamis (22/5/2025) kemarin.
Dalam Seminar Kebangsaan bertema “Kepemimpinan Perempuan untuk Meningkatkan Kesejahteraan Bangsa,” politisi yang akrab disapa Rerie ini menyuarakan keresahannya atas rendahnya kesadaran kolektif—bahkan di kalangan perempuan sendiri—terhadap pentingnya keberpihakan pada kebijakan pro-perempuan.
“Berdasarkan data KPU, meskipun sekitar 51% dari populasi pemilih adalah perempuan, keberpihakan pemilih tidak kepada perempuan,” ungkapnya.
Saatnya Bergerak, Bukan Sekadar Mengimbau
Raners, Rerie juga mengajak semua pemangku kepentingan, khususnya perguruan tinggi, agar lebih aktif menyuarakan pentingnya posisi perempuan dalam ruang kebijakan publik.
Karena selama ini, banyak kebijakan yang justru masih menempatkan perempuan sebagai pelengkap, bukan pengambil keputusan.
“Dalam kebijakan terkait keterwakilan perempuan di parlemen, hingga saat ini realisasinya secara umum baru tercapai 21,9% dari 30% yang ditargetkan,” kata Rerie.
Buat kamu yang belum tahu, target 30% itu bukan sekadar angka formal, tapi representasi untuk memastikan suara perempuan nggak terus tenggelam dalam proses pengambilan keputusan.
Budaya Nusantara, Tantangan yang Nggak Bisa Diabaikan
Rerie juga menyinggung soal perspektif budaya di Indonesia, yang secara historis kerap menempatkan perempuan di ranah domestik saja. Ini, katanya, harus dikaji ulang jika Indonesia benar-benar ingin punya masa depan yang adil dan setara.
Namun, ia juga menyoroti nilai positif dari budaya lokal. Seperti di Sumatera Barat yang punya filosofi Bundo Kanduang—sebuah simbol kepemimpinan perempuan dalam adat Minangkabau.
“Saya mengajak perempuan di Sumatera Barat juga ikut berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan pada kebijakan publik,” tegasnya.
Raners, Perempuan Bukan Pelengkap
Di era yang katanya inklusif ini, sudah waktunya perempuan nggak cuma jadi simbol di baliho atau daftar caleg, tapi jadi penggerak utama dalam pembangunan bangsa. Dan itu hanya mungkin kalau pemilih—baik perempuan maupun laki-laki—paham pentingnya mendukung kebijakan yang memberi ruang setara bagi semua.
Raners! Demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dari keberanian menyuarakan yang selama ini dibungkam. Yuk, mulai sekarang jangan ragu memilih pemimpin perempuan berkualitas—bukan karena kuota, tapi karena memang layak dan mampu!
Terus ikuti isu-isu kebijakan inklusif hanya di Ranah Publik, Ranah Nyaman untuk Berita dan Informasi.
DSK | Foto: HO-Humas MPR RI