Info Terkini dari Ranah Publik, Surabaya – Raners! Di tengah derasnya perubahan kebijakan pendidikan nasional, satu hal kembali mengemuka: pendidikan bukan hanya soal nilai akademik. Raners, sederet perubahan signifikan mulai bergulir, dari penghapusan Ujian Nasional (UN) jadi Tes Kompetensi Akademik (TKA), penambahan mata pelajaran Koding dan AI, hingga sistem penjurusan yang dikembalikan ke format lama.
Tapi di balik itu semua, publik pun bertanya-tanya: ini reformasi, atau sekadar gonta-ganti arah tiap ganti pemimpin?
TKA, Penjurusan, dan Pusingnya Orang Tua Murid
Pengamat dan akademisi dari Universitas Airlangga, Yayan Sakti Suryandaru, menyoroti keresahan yang muncul akibat kebijakan baru tersebut. Menurutnya, para guru seolah kembali dikalahkan oleh tes singkat.
“Usaha selama enam atau tiga tahun, dikalahkan oleh tes tulis (TKA) selama sehari. Jadi meskipun ‘dicibir’ sebagai nilai ‘sedekah’, penilaian guru sepanjang proses pembelajaran dianggap lebih fair daripada tes tulis (TKA).”
Di sisi lain, penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa dikembalikan seperti format lama, meski disebut “kebijakan lama yang baru”. Tapi Yayan mengingatkan: ini semua perlu konteks, bukan sekadar nostalgia.
Bukan Kiamat Kalau Gagal Akademik, Kolaborasi Itu Kunci
Menurut Yayan, gagal dalam TKA bukan berarti gagal masa depan. Sebab, manusia dibekali dua kemampuan penting: akademik dan kolaboratif. Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.
“Biasanya, anak yang memiliki kemampuan akademik tidak terlalu berhasil dalam kemampuan kolaboratif (kerja sama kelompok). Mereka biasanya bersifat soliter (sendirian) dan tidak terbiasa kerja kelompok. Sebaliknya, anak yang memiliki kemampuan kolaboratif tidak terlalu bagus dalam kemampuan akademiknya.”
Raners, paham dong maksudnya? Kegagalan akademik bukan akhir dunia, anak bisa saja punya kekuatan besar dalam hal kerja tim, kepemimpinan, atau menyelesaikan masalah bersama. Dan itu sama berharganya.
AI dan Koding Masuk Kurikulum, Saatnya Kita Siap
Satu hal yang patut diapresiasi dari kebijakan baru Dikdasmen adalah keberanian untuk membuka jalan bagi koding dan kecerdasan buatan (AI) sejak tingkat SD hingga SMA. Ini, menurut Yayan, adalah respons positif terhadap perubahan zaman.
“Kemampuan mengelola AI ini harus disiapkan sejak dini. Atas alasan itu pula Kementerian Dikdasmen menetapkan Koding-AI menjadi mata pelajaran pilihan dalam kurikulum pendidikan dasar (SD) hingga SMA.”
Ia mengingatkan bahwa Indonesia sedang menghadapi bonus demografi. 208 juta penduduk usia produktif bukan hanya angka, tapi tanggung jawab.
Sekolah Bukan Bimbingan Belajar
Salah satu kritik tajam Yayan jatuh pada konsep pendidikan kita yang sering kali hanya mempersiapkan anak untuk ujian, bukan untuk hidup.
“Sekolah bukannya lembaga bimbingan belajar (LBB) yang hanya mempersiapkan anak didiknya bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan cara yang mudah, cepat, dan benar. Pengambil kebijakan baru Dikdasmen setidaknya harus mengingat hal ini agar sekolah dan LBB tidak berbenturan tugasnya.”
Jelas, Raners, sekolah seharusnya jadi ruang pengembangan kedua sisi kecerdasan, akademik dan kolaboratif. Bukan sekadar tempat melatih trik menjawab soal pilihan ganda.
Pendidikan yang baik bukan yang hanya mencetak anak pintar nilai, tapi yang mampu mempersiapkan generasi siap hidup dalam dunia nyata yang rumit, dinamis, dan kolaboratif. Kalau kita semua orang tua, guru, dan pemerintah sepakat soal ini, masa depan pendidikan Indonesia bisa jauh lebih cerah. Pantau terus diskusi mendalam lainnya hanya di Ranah Publik, Ranah Nyaman untuk Berita dan Informasi.
Oleh Yayan Sakti Suryandaru | Foto: Istimewa